Terima kasih telah mengunjungi blog Self Development; Blog yang akan mengupas bagaimana mengembangkan diri kita dalam menapak sendi kehidupan.

Minggu, 10 April 2011

Petuah Bijak

Laku 3 perkoro  kanggo gayuh kamulyan : 1. Mangan sing enak; 2. Turu sing kepenak; 3. Nyandhang sing apik. 

Bagus-baguse sandhangan iku nyandhang kelakuan. Sampurnaning laku ‘Sornodhopes’ yoiku rumongso asor, rumongso ino, rumongso bodho lan rumongso apes.

Ojo milih-milih yen rerowangan. Sing olo dijak apik, sing apik diconto.

Yen kepingin slamet, ngegungake marang liyan. Ora rumangsa luwih apik katimbang wong liya. Weruh dhawuhe Allah ndang dilakoni, weruh cegahe Allah ndang diunduri.

KH. Abdul Chamid (1883-1990)

 

Kamis, 23 September 2010

Kenali Diri Anda


Alkisah, di Jepang ada seorang samurai yang suka bertarung. Samurai ini menantang guru Zen untuk menjelaskan konsep surga dan neraka. Tetapi, pendeta itu menjawab dengan nada menghina, “Kau hanyalah orang bodoh – aku tidak mau menyia-nyiakan waktuku untuk orang macam kamu!” 
     Merasa harga dirinya direndahkan, samurai itu naik darah. Sambil menghunus pedangnya ia berteriak, “Aku dapat membunuhmu karena kekurangajaranmu…”
     “Nah,” jawab pendeta itu dengan tenang, “itulah neraka.”
Takjub melihat kebenaran yang ditunjukkan oleh sang guru akan amarah yang menguasai dirinya, samurai itu menjadi tenang, menyarungkan pedangnya, sambil mengucapkan terima kasih kepada pendeta itu atas penjelasannya.
     “Dan,” kata sang pendeta, “itulah surga.”

Kesadaran mendadak si samurai terhadap amarahnya sendiri menggambarkan perbedaan penting antara terperangkap dalam suatu gelombang perasaan dan sadar bahwa Anda dilanda oleh perasaan itu.
 
Ajaran Socrates “Kenalilah dirimu” menunjukkan inti kecerdasan emosional; kesadaran akan perasaan diri sendiri sewaktu perasaan perasaan itu timbul.

Sepintas lalu tampaknya perasaan kita sudah jelas; refleksi yang lebih mendalam akan mengingatkan kita pada suatu saat ketika kita sama sekali tidak manyadari apa yang sesungguhnya kita rasakan tentang sesuatu; atau menyadarinya persis pada saat akhir peristiwa.  Dalam kesadaran refleksi diri ini, pikiran mengamati dan menggali pengalaman termasuk emosi.
 
Ciri kesadaran ini mirip dengan yang oleh Sigmount Freud dilukiskan sebagai “perhatian tak memihak”. Perhatian semacam ini memandang kejadian apa pun melalui kesadaran yang netral; sebagai saksi yang berminat namun tidak bereaksi. 
 
Kesadaran diri semacam ini tampaknya membutuhkan neokorteks yang aktif, terutama di wilayah bahasa, yang terpasang untuk mengidentifikasi emosi-emosi yang sedang timbul. Kesadaran diri bukanlah perhatian yang larut dalam emosi, bereaksi secara berlebihan dan melebih-lebihkan apa yang dicerap. Kesadaran diri lebih merupakan modus netral yang mempertahankan refleksi diri bahkan di tengah badai emosi.
 
Dalam kondisi terbaik, pengamatan diri memungkinkan adanya semacam kesadaran yang mantap terhadap perasaan penuh nafsu atau gejolak. Pada titik terendah, kesadaran diri memanifestasikan dirinya semata-mata sebagai sedikit langkah mundur dari pengalaman, suatu arus kesadaran paralel yang “meta”: melayang-layang di atas atau samping arus utama, waspada terhadap apa yang terjadi, bukannya tenggelam dan hanyut di dalamnya.
Inilah perbedaan antara, misalnya, amarah yang meluap-luap sehingga serasa ingin membunuh dengan berfikiran reflektif “Saya ingin marah” meskipun Anda sedang dilanda amarah.
Dalam kaitan sistem kerja saraf sadar, perubahan hampir tak kentara dalam kegiatan mental ini agaknya menyiratkan bahwa sirkuit-sirkuit neokorteks memantau emosi secara aktif, suatu langkah yang penting untuk memperoleh kendali. Kesadaran emosi merupakan kecakapan emosional dasar yang melandasi terbentuknya kecakapan-kecakapan lain, misalnya kendali diri akan emosi.  

Menurut John Mayer,  ahli psikologi University of New Hampshire, kesadaran diri berarti “waspada baik terhadap suasana hati maupun pikiran kita tentang suasana hati”. Kesadaran diri dapat menjadi pemerhati yang tidak reaktif, tidak menghakimi keadaan-keadaan batin. Namun demikian, kepekaan ini dapat pula bersifat kurang mantap; pikiran tipikal yang menyuarakan kesadaran diri emosional adalah adalah termasuk; “Haruskah aku tidak peduli”; “Aku akan memikirkan hal-hal yang menyenangkan untuk menghibur diri” dan untuk kesadaran diri yang lebih sempit; adanya pemikiran sepintas “Jangan dipikirkan” sebagai reaksi terhadap sesuatu yang menjengkelkan.
 
Meski ada pembedaan logis antara sadar akan adanya perasaan dan bertindak untuk mengubahnya. Pada setiap tujuan praktis, kedua hal itu biasanya berjalan bersama-sama mengenali suasani hati yang tidak mengenakkan berarti ingin lepas darinya. Namun pengenalan ini berbeda dari usaha-usaha yang kita lakukan untuk meredam tindakan yang menurutkan dorongan emosi. Sebagai contoh, bila kita berkata “Jangan” pada seorang anak yang begitu marah sehingga ia memukul teman bermainnya, barangkali kita dapat menghentikan pemukulan itu, tetapi amarah si anak tidak seketika itu lenyap. Pikiran anak itu masih terpaku pada pemicu amarahnya – “Tapi, ia mengambil mainanku” – dan amarahnya terus berlanjut.
 
Kesadaran diri memounyai pengaruh yang lebih besar akan perasaan yang bersifat menantang dan kuat. Ungkapan “Saya ingin marah” menawarkan derajat kebebasan yang lebih tinggi – bukan sekadar pikiran untuk tidak bertindak, melainkan pilihan tambahan untuk mencoba melepas perasaan itu.

Berikut ini adalah beberapa jenis kesadaran diri emosional yang diadaptasi Daniel Goleman dari yang dikategorikan oleh John Mayer;
•    Sadar diri
Peka akan suasana hati mereka ketika mengalaminya – dapat dimengerti bila orang-orang ini memiliki kepintaran tersendiri dalam kehidupan emosional mereka. Kejernihan pikiran tentang emosi boleh jadi melandasi ciri-ciri kepribadian lain; mandiri dan yakin akan batas-batas yang mereka bangun, kesehatan jiwanya bagus, dan cenderung berpendapat positif akan kehidupan. Bila suasana hatinya sedang jelek, mereka tidak risau dan tidak larut ke dalamnya, mereka mampu melepaskan diri dari suasana itu dengan lebih cepat. Pendek kata, ketajaman pola pikir mereka menjadi penolong untuk mengatur emosi.
•    Tenggelam dalam permasalahan
Mereka adalah orang-orang yang seringkali merasa dikuasai oleh emosi dan tak berdaya untuk melepaskan diri, seolah-olah suasana hati telah mengambil alih kekuasaan. Mereka mudah marah dan amat tidak peka akan perasaannya sehingga larut dalam perasaan-perasaan itu dan bukannya mencari perspektif baru. Akibatnya, mereka kurang berupaya melepaskan diri dari suasana hati yang jelek, merasa tidak mempunyai kendali atas kehidupan emosionalnya. Seringkali merasa kalah dan secara emosional lepas kendali.
•    Pasrah
Meski seringkali orang-orang ini peka akan apa yang mereka rasakan, mereka juga cenderung menerima begitu saja suasana hati mereka, sehingga tidak berusaha untuk mengubahnya. Ada dua cabang jenis pasrah; mereka yang terbius dalam suasana hati yang menyenangkan, dengan demikian motivasi untuk mengubahnya rendah; dan orang-orang yang kendati peka akan perasaannya, rawan terhadap suasana hati yang jelek tetapi menerima dengan sikap tidak hirau, tak melakukan apa pun untuk mengubahnya meskipun tertekan – pola yang ditemukan, misalnya  pada orang-orang yang menderita depresi dan yang tenggelam dalam keterpurukan.

Bersambung.....

Rabu, 22 September 2010

Saatnya Introspeksi

Berita tentang kekerasan kembali menghisasi layar televisi, halaman utama koran harian serta lantang terdengar di radio. Markas Polisi Sektor yang disatroni gerombolan orang bersenjata tak dikenal tiba-tiba membunuh tiga orang anggota polisi. Sungguh sebuah tragedi memilukan. Polisi menerangkan bahwa pelaku ada kaitannya dengan kelompok teroris Aceh. Tak ayal kasus itu pun berbuntut panjang dengan terjunnya Densus 88 milik Polri yang kemudian melakukan penggerebegan & penangkapan pelaku teror.

Terplepas dari intro berita di atas, kondisi sebagian masyarakat kiranya kina tengah mengalami "sakit" yang luar biasa. Pemerintah yang semenjak negara kita mengenyam kemerdekaan belum mampu menjadi "dokter" mujarab, yang mampu menyembuhkan penyakit akut sebagian masyarakat itu. Diantara sakit yang diderita sebagian masyarakat itu ada yang disebut penyakit miskin, penyakit tidak puas, dendam, amarah yang berlebihan yang resikonya jauh lebih ganas ketimbang tumor atau kanker sekalipun.

Kita tahu negara ini telah merdeka 65 tahun.lalu. Kita pun tahu roda pemerintahan telah bergulir sepanjang tiga orde (orde lama, orde baru dan orde reformasi). Kita juga tahu sepanjang sejarah pemerintahan angka kemiskinan dan ketidakmamkmuran terus saja berkembang sepanjang tahun.
Pembangunan tidak merata dan pengangguran selalu mewarnai sepanjang usia pemerintahan dari orde ke orde. 

Kini saatnya kita berbenah, introspeksi dan mawas diri. Rakyat jelata, pejabat pemerintah, penguasa di Jakarta maupun di daerah harus mengenyam rasa bahwa saat ini memang negara kita belum sejahtera. Pengangguran masih merajalela. Keadilan masih didominasi pemilik harta. Petani dan nelayan masih menjadi manusia grading terakhir di negeri ini. Ini semua harus diakui oleh kita bersama.